Senin, 30 Maret 2015

ACEH ANTARA IMPIAN DAN KENYATAAN

Lambatnya pertumbuhan ekonomi di Aceh secara langsung telah berdampak pada meningkatnya angka pengangguran dan merambat pada tingginya angka kemiskinan. Masyarakat Aceh masih jauh dari kesejahteraan, sehingga data terakhir yang diperoleh pakar ekonomi menunjukkan bahwa indeks kemiskinan di Aceh menduduki ”juara” ketiga secara Nasional.
Masih begitu melekat dalam ingatan para hadirin yang datang berbondong-bondong untuk mendengarkan janji-janji ‘Zikir’ pada masa kampanye mereka silam saat hendak memperebutkan pucuk kepemimpinan di Provinsi ujung Barat pulau Sumatera ini. Ada 21 butir janji-janji yang pernah mereka umbar dihadapan masyarakat Aceh yang menaruh harapan besar pada pasangan ini. Sangat “luar biasa”. Bahkan tidak tanggung-tanggung, Aceh hendak dijadikan “semaju” Singapura dalam salah satu butir janji-janji ‘Zikir’. Tapi, sudahkah itu terpenuhi? Ternyata itu hanyalah khayalan yang dikemas dalam bentuk janji-janji yang bisa “menggembirakan” rakyat Aceh, yang hingga hari ini telah dibuai oleh tipuan. Sebut saja butir janji Rp 1 Juta/per bulan/ per kepala keluarga (KK) bagi setiap penduduk Aceh. Jangankan Rp 1 Juta, yang Rp 500 ribu saja beberapa waktu lalu diajukan oleh warga di kantor Gubernur tidak sanggup dipenuhi. Bahkan, berujung pada kericuhan karena sebagian warga tidak bisa menerima bantuan sosial yang dibagikan menjelang pemilu tahun 2014 tersebut.
Bahkan beberapa target pembangunan tahun 2012-2017 yang telah ditetapkan oleh Pemerintahan Aceh di bawah kepemimpinan Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf gagal direalisasikan. Bahkan Pemerintah Aceh berencana merevisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang disusun tiga tahun lalu dikarenakan beberapa target yang dibuat itu tidak terealisasi. Jika melihat beberapa indikator kinerja di bidang ekonomi, misalnya, antara realisasi dan proyeksi begitu jauh angkanya.
Contohnya pertumbuhan ekonomi. Untuk 2014, misalnya, realisasi cuma 4,13 persen, padahal targetnya mencapai 6,7 persen. Untuk tahun 2014 tersebut bahkan BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Aceh tanpa migas melambat dari tahun 2013, yakni hanya 4,13 persen dari 4,4 persen.
Tingkat pengangguran pun demikian. Jika Pemerintah Zaini Abdullah yang dilantik pada 25 Juni 2012 lalu menargetkan pengangguran tahun 2013 cuma 5,0 persen, ternyata faktanya masih 10,3 persen. Sebagai provinsi yang tak punya industri, mencari kerja di Aceh sangatlah sulit. Untuk pengurangan angka kemiskinan, Zaini bahkan punya target yang  ambisius. Dia ingin menurunkan angka kemiskinan  2 persen setiap tahun, sebagaimana tercermin dalam RPJM.
Sayangnya, hingga kini tingkat kemiskinan di Aceh masih saja di atas angka rata-rata nasional. “Pemerintah Aceh mempunyai target menurunkan angka kemiskinan hingga 9,50 persen pada 2017,” begitu tertera dalam Qanun RPJM Aceh 2012-2017
Dengan fakta-fakta diatas bisa dikatakan roda kepemerintahan Aceh saat ini dijalankan dengan mimpi-mimpi yang gagal ter-realisasi dikehidupan nyata dengan ekonomi bergerak lambat bak “Manula” sedang sekarat. Kini janji hanyalah janji belum adanya tanda-tanda ingin mengabuli dan mimpi tetaplah mimpi yang tak ada tanda-tanda akan datangnya pagi. Rakyat menjerit adalah tragedi nyata bukanlah mimpi jadi bagunlah pemimpin kami hari sudah pagi jangan biarkan rakyatmu mengatakan bahwa “Pemimpin kami adalah “SANG PEMIMPI””

Penulis: Hidayatul Akbar, SH,
                Manager Hukum LSM Kemilau Cahaya Bangsa PC Aceh