Lambatnya
pertumbuhan ekonomi di Aceh secara langsung telah berdampak pada meningkatnya
angka pengangguran dan merambat pada tingginya angka kemiskinan. Masyarakat
Aceh masih jauh dari kesejahteraan, sehingga data terakhir yang diperoleh pakar
ekonomi menunjukkan bahwa indeks kemiskinan di Aceh menduduki ”juara”
ketiga secara Nasional.
Masih
begitu melekat dalam ingatan para hadirin yang datang berbondong-bondong untuk
mendengarkan janji-janji ‘Zikir’ pada masa kampanye mereka silam saat hendak
memperebutkan pucuk kepemimpinan di Provinsi ujung Barat pulau Sumatera ini.
Ada 21 butir janji-janji yang pernah mereka umbar dihadapan masyarakat Aceh
yang menaruh harapan besar pada pasangan ini. Sangat “luar biasa”. Bahkan tidak
tanggung-tanggung, Aceh hendak dijadikan “semaju” Singapura dalam salah satu
butir janji-janji ‘Zikir’. Tapi, sudahkah itu terpenuhi? Ternyata itu hanyalah
khayalan yang dikemas dalam bentuk janji-janji yang bisa “menggembirakan”
rakyat Aceh, yang hingga hari ini telah dibuai oleh tipuan. Sebut saja butir
janji Rp 1 Juta/per bulan/ per kepala keluarga (KK) bagi setiap penduduk Aceh.
Jangankan Rp 1 Juta, yang Rp 500 ribu saja beberapa waktu lalu diajukan oleh
warga di kantor Gubernur tidak sanggup dipenuhi. Bahkan, berujung pada
kericuhan karena sebagian warga tidak bisa menerima bantuan sosial yang
dibagikan menjelang pemilu tahun 2014 tersebut.
Bahkan beberapa target
pembangunan tahun 2012-2017 yang telah ditetapkan oleh Pemerintahan Aceh di
bawah kepemimpinan Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf
gagal direalisasikan. Bahkan Pemerintah Aceh berencana merevisi Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang disusun tiga tahun lalu dikarenakan beberapa
target yang dibuat itu tidak terealisasi. Jika melihat beberapa indikator
kinerja di bidang ekonomi, misalnya, antara realisasi dan proyeksi begitu jauh
angkanya.
Contohnya pertumbuhan ekonomi.
Untuk 2014, misalnya, realisasi cuma 4,13 persen, padahal targetnya mencapai
6,7 persen. Untuk tahun 2014 tersebut bahkan BPS mencatat pertumbuhan ekonomi
Aceh tanpa migas melambat dari tahun 2013, yakni hanya 4,13 persen dari 4,4
persen.
Tingkat pengangguran pun
demikian. Jika Pemerintah Zaini Abdullah yang dilantik pada 25 Juni 2012 lalu
menargetkan pengangguran tahun 2013 cuma 5,0 persen, ternyata faktanya masih
10,3 persen. Sebagai provinsi yang tak punya industri, mencari kerja di Aceh
sangatlah sulit. Untuk pengurangan angka kemiskinan, Zaini bahkan punya target
yang ambisius. Dia ingin menurunkan angka kemiskinan 2 persen
setiap tahun, sebagaimana tercermin dalam RPJM.
Sayangnya, hingga kini
tingkat kemiskinan di Aceh masih saja di atas angka rata-rata nasional.
“Pemerintah Aceh mempunyai target menurunkan angka kemiskinan hingga 9,50
persen pada 2017,” begitu tertera dalam Qanun RPJM Aceh 2012-2017
Dengan fakta-fakta diatas
bisa dikatakan roda kepemerintahan Aceh saat ini dijalankan dengan mimpi-mimpi
yang gagal ter-realisasi dikehidupan nyata dengan ekonomi bergerak lambat bak
“Manula” sedang sekarat. Kini janji hanyalah janji belum adanya tanda-tanda
ingin mengabuli dan mimpi tetaplah mimpi yang tak ada tanda-tanda akan
datangnya pagi. Rakyat menjerit adalah tragedi nyata bukanlah mimpi jadi
bagunlah pemimpin kami hari sudah pagi jangan biarkan rakyatmu mengatakan bahwa
“Pemimpin kami adalah “SANG PEMIMPI””
Penulis: Hidayatul Akbar,
SH,
Manager Hukum
LSM Kemilau Cahaya Bangsa PC Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar